Rabu, 31 Maret 2010

Belum nemu judul

ckckckckckck adaada aja kelakuan anak muda zaman sekarang,waktu SD pada dapet pelajaran Agama gag ya kalo ternyata TAKDIR itu ditangan Tuhan YME,
jodoh, rezeki, umur semua itu udah ada yang ngatur (guru agama, dalam perkataan orang-orang zaman dulu 1800an sebelum masehi),
tapi kenapa ya anak-anak zaman sekarang itu kurang mengerti akan permasalahan ini???
dikit-dikit Update status di pesbuk yang isinya ngejelek2in orang lain...
Yang lebih parahnya lagi waktu itu ada yang belom jadian dipaksa buat ngaku,
waktu berusaha buat jelasin semuanya dibilang konfrensi pers..
Hidup tu orang berdua mendadak jadi kayak artis hollywood yang tiap hari kerjaannya dikuntitin sama paparazi profesional..
Tapi bedanya, yang nguntitin tu orang berdua bukan paparazi profesional, malah bisa dibilang mereka paparazi gadungan yang cuma pengen eksis di kerumunan gosiper kampus...
ahahaha, dramatis banget ya hidup mereka, saking gak ada bahan omongan sampe-sampe tu orang berdua digosipin juga....
"kutipan lagi dari orang zaman jadul, kalo sahabat bisa jadi musuh, dan musuh bisa jadi sahabat"
ini juga nih yang lagi trend...
Remaja sekarang gak beda sama anak kecil, yang belum mengerti bahwa perasaan itu gag bisa dipaksa dan juga gak bisa diduga datangnya kapan?
Rasa sayang itu bisa datang kapan aja, dan kita juga gak tau bakalan sayang sama siapa....
saat kita udah sayang dan ngerasa nyaman sama seseorang ya itu gak bisa disalahin juga, emangnya kita yang bisa kontrol kalo kita bisa suka dan sayang sama siapa???
Kalo w bisa kontrol itu perasaan, ya jelas aja w maunya lo gag pernah suka sama Cowok w... Biar masalahnya gak ribet n belibet kayak gini...
Yang jelas w gak akan berkorban ataupun ngalah buat lo...
Pengalaman w yang udah-udah ngalah itu gak enak karena temennya juga gak tepat.. hehehe
Balik lagi ke kutipan kalo sahabat bisa jadi musuh, dan musuh bisa jadi sahabat...
Lagi trend banget yang namanya musuhan sama sahabat sendiri gara-gara masalah cowok..
Biasanya sih, gara-gara gak kesampean..
Upss bukan bermaksud menyindir..
Tapi pepatah tahun 2010 mengatakan Cinta ditolak, fitnah bertindak...
Jadi ya gitu karna si sahabat ini merasa sakit hati kalo cowok yang dia suka malah suka sama sahabatnya, jadilah timbul omongan-omongan yang gak sedap, yang datangnya dari orang itu sendiri...
humpffffff!!!
Cape ya hidup kayak begitu...
pernah mikir gak sih kalo cinta itu tak terduga dan mengandung asas praduga tak bersalah,
karna orang yang terlibat pun gak pernah tau kapan rasa itu datang dan sama siapa...
Ada kutipan lagi (love is blind, nah udah mewakili tuh jawabannya)
dia gak perduli datangnya sama siapa, tapi yang jelas dia mencloknya juga milih-milih orang..
biasanya kalo yang ngerasa nyaman ya bakal jatuh cintrong juga deh.... mudah2an persepsi w gag salah ya...
Balik lagi ke orang ketiga tunggal, tapi bisa dibilang banyak kroni-kroninya...
kemaren2 waktu tu orang berdua belum jadian.. n mereka bilang ngerasa nyaman, lo protes
sekarang tu orang berdua menyatakan udah resmi lo protes lagi...
harus apa tu orang dimata lo????
lieur urang (kutipan dari orang Sunda) heee
kayaknya mereka salah aja di mata lo...
lo ini kenapa sih??
sirik, atau pengen eksis?
aduh plis deh zaman sekarang apa yang lo anggap gak mungkin itu bisa jadi mungkin,
jadi lo bangun dong jangan hidup di Zaman flinston (mudah-mudahan tulisannya gak salah)hehe
"Sebuah pengakuan dosa"
mugkin w salah karena memulai hubungan dengan cara yang kurang baik,
tapi apa kalian tau hubungan macam apa yang w bina dulu?
ngak kan??? jadi tolong jangan pernah ngomong apapun kalo lo emang gak tau apa2..
gak rugi kan buat lo untuk diem n nikmatin aja pemandangan indah di depan lo..
kenapa lo harus ikutan emosi?
karena ini gak ada sangkut pautnya sama lo...
(kutipan dari orang yang sedang esmosi)....Tanpa mengandung unsur Sara dan politik...

Big kiss buat alyapuyuyunkcwetianjanitwelviechaditadanu dan tentunya buat my guardian angel "Mr. D"
thanx bwt dukungan n kasih sayang kalian selama ini...
hiks hiks hiks jadi terharu

Rabu, 24 Maret 2010

verbal abuse dalam hubungan pacaran

Sedini mungkin deteksi ”bibit-bibit” domestic violence dalam hubungan pacaran.

Waspada: ”bibit” kekerasan :

1. Kata-kata kasar,
Termasuk berteriak, dan membentak merupakan bentuk kekerasan verbal yang nggak bisa dianggap remeh.

2. Berbicara vulgar.
Pacar yang sering berbicara vulgar artinya dia nggak menghargai kita.

3. Menghina.
Misalnya, mengolok-olok fisik kita atau menyebut kita cewek atau cowok gampangan. Walaupun dilakukan dengan maksud bercanda, kalau taruhannya adalah harga diri tetap nggak ada dispensasi.

4. Paksaan.
Ingat, walaupun berbentuk ”paksaan halus” yang penuh bujuk rayu, pacar tetap nggak boleh memaksakan kehendaknya kepada kita.

5. Ancaman.
Nggak ada, tuh yang namanya ”sekadar mengancam”, karena ancaman sendiri adalah salah satu bentuk kekerasan.

Cara Menghadapinya :

Cek dan ricek sebelum memutuskan jadian sama seorang cowok atau mungkin cewek. Kita harus tahu apakah dia punya ”sejarah” tindak kekerasan, atau emosi yang labil.

Hargai diri sendiri. Ingat, nggak ada orang yang berhak untuk menyakiti fisik dan mental kita.

Say no untuk segala macam bentuk kekerasan.

Ingatkan dengan tegas. Saat pacar membentak, menghina, atau melakukan ”bibit” kekerasan lainnya, kita harus segera speak up, dan jangan sekalipun memaklumi ataupun membiarkan tindakannya.

Dekat dengan teman. Meskipun punya pacar, kita tetap harus menjaga hubungan dengan sobat. Sahabat terdekat akan membantu melindungi kita dari gelagat nggak baik orang lain, termasuk pacar.

http://www.wonosari.com/coerhat-f33/kekerasan-dalam-hubungan-berpacaran-t4676.htm

ADHD

ADHD, apa itu?

Senin, 19 Mei 2008
“Anak itu hampir tidak pernah bisa tenang, aktif sekali, seperti tidak pernah merasakan lelah, kenapa ya?” Kata seorang Ibu yang sedang menunggu putranya yang bersekolah di sebuah Taman Kanak-kanak. “Aku juga kurang tahu, aku pernah menyapanya, tapi dia mengabaikanku.” Ibu yang lain menimpali. Ada apa dengan anak itu? Seringkali kita akan menduga bahwa anak tersebut mengalami autis, istilah yang sekarang sudah awam didengar, atau mungkin hiperaktif, ini bahkan lebih awam lagi. Kekurangtepatan untuk menamai perilaku anak itu akan berdampak kekurangtepatan pula dalam penanganannya.

ADHD, istilah yang mungkin untuk sebagian kalangan masih awam. ADHD berawal dari hasil penelitian Prof. George F. Still, seorang dokter Inggris pada tahun 1902. Penelitian terhadap sekelompok anak yang menunjukkan suatu ketidakmampuan abnormal untuk memusatkan perhatian yang disertai dengan rasa gelisah dan resah. Anak-anak itu mengalami kekurangan yang serius ‘dalam hal kemauan’ yang berasal dari bawaan biologis. Gangguan tersebut diakibatkan oleh sesuatu ‘di dalam’ diri si anak dan bukan karena faktor-faktor lingkungan.
ADHD atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder, di Indonesia diartikan sebagai gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif. Sederhananya dijelaskan bahwa ADHD adalah suatu kondisi di mana seseorang memiliki masalah perhatian dan pemusatan terhadap kegiatan. Berawal dari masa kanak-kanak dan dapat berlanjut ke masa dewasa. Tanpa perawatan, ADHD dapat menyebabkan permasalahan serius di rumah, sekolah, pekerjaan, dan interaksi sosial di masyarakat.
Lebih mudahnya kita dapat melihat ciri-ciri yang mengkhaskan dari ADHD, antara lain:
1. Selalu bergerak, dan gerakan-gerakannya tidak beraturan, tidak terkontol serta tanpa sebab yang jelas.
2. Sering lupa terhadap segala hal, disebabkan kekurangmampuan untuk berkonsentrasi sehingga hal tersebut kurang pula diperhatikannya.
3. Sering bingung tanpa sebab yang kuat.
4. Kelabilan emosi, cenderung gelisah, resah, dan tidak tenang.
5. Kecenderungan mengganggu orang lain.
Ciri-ciri tersebut tidak dapat mewakili diagnosa untuk menentukan bahwa seorang anak mengalami ADHD atau tidak. Penentuan diagnosa, harus dipastikan melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh psikolog/profesional di bidangnya.
Ada beberapa faktor yang memungkinkan dapat terjadinya ADHD dialami oleh seorang anak, adalah sebagai berikut:
1. Genetika atau keturunan. ADHD mungkin dapat terjadi apabila ada salah satu dari orang tua atau leluhurnya yang mengalami ADHD.
2. Riwayat hidup kesehatan Ibu sebelum kehamilan dan sewaktu kehamilan serta saat melahirkan.
3. Penyakit yang pernah diderita Ibu berpengaruh pada kesehatan Ibu dan janinnya.
4. Konsumsi makanan dan minuman, gizi serta jaminan kesehatannya bagi Ibu hamil.
5. Pemakaian obat-obatan bagi Ibu hamil.
6. Pengaruh psikis dari Ibu hamil, stres, konflik rumah tangga, tekanan sosial dan ekonomi.
Bagi para orang tua, guru, dan pemerhati ADHD, kami ingin berbagi tips dengan anda, semoga dengan tips yang singkat ini kita dapat meningkatkan kemampuan dalam menangani ADHD, adapun tipsnya antara lain:
1. Menjaga kesehatan diri, hal ini sangat penting karena anda membutuhkan energi yang cukup untuk menangani anak ADHD.
2. Banyaklah belajar tentang ADHD, karena anda akan lebih mampu untuk membantu anak ADHD jika telah memahaminya.
3. Belajarlah ketrampilan tentang perilaku anak-anak. Mereka memerlukan bantuan bagaimana caranya berkomunikasi dengan orang lain secara normal.
4. Bantulah anak ADHD agar mampu menjaga diri mereka sendiri.
5. Bantulah anak ADHD supaya dapat bersekolah dengan baik. Hal ini karena ADHD menghambat kemampuan anak untuk bisa berhasil dalam sekolahnya. Dampingi mereka agar akademis, sosial, dan psikisnya tetap terkontrol.
6. Berikan dan bantu anak ADHD untuk melakukan tugas di rumah. Dibanding dengan anak-anak yang lain, mereka mengalami kesulitan berkomunikasi. Seringnya menghiraukan instruksi menyebabkan kekacauan dalam melakukan tugasnya sehingga menyebabkan ketidakselesaian tugas tersebut.
7. Sangat diperlukan, kepekaan, kesabaran, keikhlasan, ketekunan, dan ide kreatif agar dapat membantu anak ADHD dalam belajar, berketrampilan, dan memenuhi tugas di rumah dan sekolah.
8. Aktifkan diri anda. Banyak media yang tersedia, seperti: majalah, koran, CD interaktif, perpustakaan, internet, dan sebagainya.
Perilaku ADHD dapat di-minimaze, tentunya hal ini memerlukan dukungan yang solid dari lingkungannya. Akan sangat baik sekali apabila seorang anak mendapatkan konsumsi ASI (Air Susu Ibu) yang mencukupi. Hal ini akan membangun daya tahan tubuh/imun bagi anak, sehingga diharapkan anak yang mengalami ADHD memiliki kesehatan tubuh yang lebih baik dan mampu beraktivitas dengan lebih normal.
Bagi anda yang akan atau baru memasuki dunia ADHD, bergabunglah ke dalam organisasi pemerhati anak di wilayah anda. Salurkan semangat anda ke wadah yang tepat. Banyak manfaat yang bisa anda dapatkan. Selamat berjuang!!.


Dikutip dari : Arief Bharata Al Huda
Mahasiswa Program Magister Manajemen Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa)
http://dosenku-kus.blogspot.com/2008/05/adhd-apa-itu.html

Skizofrenia

Skizofrenia
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).
Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.
75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog.
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
1. Gejala-gejalaPositif
Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
2. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan stres post-traumatik. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti ganja, halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis.
Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis.
Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta memotivasi penderita untuk sembuh. Kisah John Nash, doktor ilmu matematika dan pemenang hadiah Nobel 1994 yang mengilhami film A Beautiful Mind, membuktikan bahwa penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Skizofrenia

Teori Labelling PI

LABELLING
Dewasa ini perkembangan pemberian label yang dikemukakan masyarakat semakin meningkat. Biasanya label yang dikemukakan masyarakat adalah label yang negatif dan sasarannya adalah individu yang dianggap menyimpang. Individu yang rentan terhadap label adalah remaja, dimana pada masa remaja adalah masa pencarian identitas dan pada masa ini remaja harus bisa melewati krisisnya agar tidak terjadi kebingungan identitas. Salah satu penyebab kebingungan identitas remaja adalah labeling.
Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut.
Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.
Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.
Menurut Biddulph, (2007) banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.
Bagi remaja sangat penting untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini ditemukan olehnya lewat respon orang-orang disekitarnya,. Kalau respon orang disekitarnya positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya orang disekitar si anak tersebut, tidak dapat menahan diri sehingga menunjukkan respon-respon negatif seputar anak tersebut. Walaupun sesungguhnya orang tersebut tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya. Terutama dalam pembentukan identitas si anak tersebut.


DAFTAR PUSTAKA



Biddulph S. & B. Steve, (2007). Raising a Happy Child. Dog Kindersley.


Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi. (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


Sunarto, K. (2007). Sosiologi suatu pendekatan membumi. (Jilid 1). Jakarta: Erlangga, PT. Gelora Aksara Pratama.


Tasmin, Martina. (2002). Label menyebabkan individu menjadi devian. http://www.e-psikologi.com/anak/160502.htm.


Tulisan ini adalah kutipan dari Penulisan Ilmiah yang disusun oleh
Qotrin Nida Rs
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
2006

Subkultur Punk Sebagai Suatu Kenakalan Anak

Subkultur Punk Sebagai Suatu Kenakalan Anak

Punk menjadi suatu kultur yang dianggap menyimpang dalam masyarakat. Penilaian ini dapat terjadi berawal dari semangat memberontak dan anti kemapanan, sedangkan kemapanan adalah hal yang menjadi tujuan hidup dalam masyarakat industri. Pemberontakan ini mengakibatkan adanya anggapan dari masyarakat modern yang biasanya hidup dikawasan perkotaan dan tidak lepas dari kehidupan industrialisasi bahwa budaya Punk adalah budaya yang menyimpang. Dari sini akan timbullah suatu bentuk delinquent subculture yang muncul di masyarakat.
Di Jakarta Komunitas Punk terkadang di justifikasi sebagai pembuat onar dan kekacauan seperti dalam suatu pengalaman yang dikutip dari laporan Bisik.com tentang acara punk di Senayan:
“Ibu dari seorang teman saya yang kebetulan lewat jalan itu untuk suatu keperluan bahkan sempat menelepon beberapa orang kerabat dan anaknya untuk memberitahukan agar mereka pada hari itu menghindari areal Senayan yang menurutnya “dipenuhi gerombolan massa anak-anak muda yang tidak jelas juntrungannya di sana”.
Namun memang tidak dipungkiri terkadang terjadi keributan dalam acara-acara semacam ini "melihat segala keributan dan kerusuhan remeh-temeh yang selalu terjadi di even-even punk rock (masih ingat even STOP THE CONFLICT di Moestopo tahun lalu ? 1000 massa punks versus 3 truk tronton aparat kalap. Skor akhir : 5 anak punk menderita luka-luka akibat berondongan pelor karet aparat)”
Dari keributan-keributan seperti itu maka akan timbul Prejudice dari masyarakat bahwa Punk identik dengan kekerasan. Namun Kekerasan itu sendiri ditentang oleh Punkers atau anak Punk (sebutan bagi anak-anak bergaya hidup Punk). Bagi mereka kekerasan hanyalah suatu tindakan bodoh namun entah mengapa selalu terjadi keributan dalam suatu event atau acara musik yang diadakan oleh mereka. Kekerasan yang mereka lakukan kadang muncul sebagai pengaruh minuman keras. Minuman keras sudah tidak terlepas dari kehidupan mereka yang sebagian besar memang peminum minuman keras. Kekerasan dalam komunitas mereka sendiri tidak jarang terjadi. Perkelahian antar anak Punk atau sekedar saling melakukan tindakan kekerasan ketika mereka berjoget didepan panggung sebuah acara musik punk. Kekerasan saat mereka menikmati musik ini seperti sudah menjadi sebuah ritual dalam komunitas punk. Saling memukul dan saling menendang bahkan bergulat bergulingan menjadi hal yang biasa saat mereka berjoget mengikuti irama lagu. Hal ini mereka anggap sebagai ungkapan kebebasan. Dalam komunitas ini kekerasan tidaklah menjadi sesuatu yang anti sosial. Menurut mereka, mereka melakukan kekerasan biasanya karena mereka diganggu lebih dahulu. Namun mereka bukanlah sumber dari kekacauan.
Di Jakarta Komunitas Punk yang biasanya bermatapencaharian di bidang informal. Misalnya berjualan aksesoris perlengkapan pakaian punk, kaset-kaset punk (yang biasanya bajakan), dan usaha lainnya yang biasanya tidak jauh dari gaya hidup mereka. Tidak sedikit juga dari mereka yang menjadi polisi cepek di putaran-putaran jalan dan menjadi pengamen. Mereka dalam kehidupannya sebagaimana sudut pandang mereka yang anti kemapanan maka dalam hal mata pencaharian mereka tidak mencari untung yang sebesar-besarnya. Mereka mencari uang hanya untuk bertahan dan menikmati hidup serta untuk memenuhi kebutuhan kelompoknya.
Tidak jarang massa Punk menggelar aksi demonstrasi terhadap pemerintah. Mereka terkadang membawa nama suatu partai dalam aksi-aksinya dimana banyak massa Punk yang tergabung dalam partai politik tersebut. Punk juga mempunyai ideologinya sendiri tentang politik. Ideologi mereka dalam menyikapi proses politik adalah Anarki. Keanarkian ini dianggap sesuai dengan motto Do It Yourself yang mereka anut. Keanarkian ini yang dimaksud ialah tidak adanya pemerintahan.
Hal-hal seperti diataslah yang dapat menyebabkan suatu subkultur Punk dinilai sebagai suatu penyimpangan oleh masyarakat umum. Tidak hanya perorangannya namun juga kebudayaannya itu sendiri. Kebudayaan ini biasanya disosialisasikan ke anak-anak muda sekitar 12-18 tahun. Suatu bentuk kebudayaan yang menawarkan kebebasan dan anti kemapanan yang disosialisasikan kepada anak usia remaja akan sangat mungkin untuk diserap oleh remaja-remaja itu.
Anggota kebudayaan ini tidak selalu anak-anak muda. Tidak sedikit orang-orang dewasa yang mungkin sudah tidak bergaya hidup punk namun masih ber ideologi punk dan bersemangatkan sudut pandang Punk. Dalam melihat sebuah kebudayaan kita harus melihatnya secara holistik dan dengan menghilangkan sikap etnosentris. Kebudayaan Punk juga harus dilihat dari sudut pandang mereka juga. Masing-masing kebudayaan mempunyai suatu nilai-nilainya sendiri. Walaupun Punk mempunyai kebudayaan yang berbeda dari masyarakat pada umumnya tetapi mereka tidak dapat dipisahkan sepenuhnya dari masyarakat umumnya. Karena itulah Budaya ini menjadi suatu subkultur dalam budaya urban industrialis.
Pengimitasian juga sangat mungkin terjadi dalam proses enkulturasi Punk karena adanya pengidolaan bintang-bintang musik Punk yang menjadi model bagi pengimitasi. Pengidolaan yang dialami remaja sangat mungkin menjadi sebuah proses enkulturasi dimana remaja yang masih labil disosialisasikan suatu bentuk budaya yang dapat diikutinya. Proses regenerasi budaya (enkulturasi) ini melalui pembelajaran yang bersifat imitasi dari kebudayaan pendahulunya. Pengenkulturasian ini tidak terlepas dari peran media yang mendorong terjadinya proses enkulturasi. Selain melalui musik, proses perambatan nilai juga terjadi melalui media lain misalnya media cetak. Sistem informasi mereka juga melalui suatu sistem yang mandiri. Mereka menerbitkan semacam media cetak dalam bentuk buletin atau majalah independen yang dibuat dengan biaya sendiri yang seadanya. Media cetak independen ini disebut Zine. Zine -diambil dari kata Magazine- sebenarnya tidak hanya ada di komunitas Punk namun juga komunitas minoritas lainnya misalnya komunitas sastra, homosexual atau hacker.
Bentuk-bentuk munculnya budaya punk dapat dilihat sebagai bentuk bricolage yang dilakukan oleh pemuda dalam menghadapi budaya yang sudah ada sebelumnya. Pemaknaan baru dari makna yang sudah ada sebelumnya terjadi dalam bentuk-bentuk fashion statement. Penggunaan peniti, kalung anjing, asesoris fetisisme dan berbagai bentuk lain juga menunjukkan pemaknaan baru dari berbagai hal yang sudah memiliki makna sebelumnya. Bentuk-bentuk inilah yang menjadikan punk sebagai sebuah sistem subkultur yang berbeda.

Pemberitaan Media Massa

Dalam bagian ini akan dibahas mengenai pemberitaan media massa yang berkaitan dengan tindak kenakalan anak yang dilakukan oleh punk. Setelah dijelaskan mengenai Subkultur Punk sebagai sebuah bentuk kenakalan anak, maka pada bagian ini akan dibahas perihal pemberitaannya dalam media massa yang dapat menimbulkan prasangka dan stereotipe oleh masyarakat terhadap punk.
Dalam sebuah pemberitaan di Tempo Interaktif tanggal 26 Januari 2004, tertulis dalam judul berita “Polisi Jember Tangkap Tujuh Remaja Punk”. Dalam kasus ini sebenarnya mereka yang ditangkap tidak melakukan tindakan melanggar hukum pidana apapun. Mereka ditangkap karena adanya laporan warga yang merasa terganggu dengan keberadaan yang sudah dianggap meresahkan. Penangkapan ini tidak akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini. Yang menjadi fokus permasalahan adalah pemberitaan yang mengidentifikasikan mereka sebagai “remaja punk”. Pengidentifikasian “remaja punk” dapat menimbulkan respon dari masyarakat berupa anggapan bahwa perilaku setiap punk adalah suatu perilaku yang menyimpang.
Pada kasus pemberitaan lain juga dapat dilihat contoh serupa. Dari data yang diambil pada Liputan6.com yang merupakan situs internet dari program berita televisi Liputan 6 di SCTV, pernah menyiarkan berita dengan headline berjudul “Memeras, Tujuh Punkers Dicokok”. Pada pemberitaan ini bahkan wajah anak ditampilkan dan pada pemberitaannya dijelaskan bahwa mereka adalah anak-anak bergaya punk dengan definisi tentang rambut serta pakaian mereka. Pemberitaan semacam ini juga dapat menimbulkan pandangan yang sama terhadap orang yang bergaya sama.
Beberapa kasus lain yang juga serupa misalnya pemberitaan pikiranrakyat.com yang berjudul “Polres Amankan Anak Punk”. Selain dalam headline biasanya identitas punk juga tercantum dalam isi berita seperti terjadi dalam berita berjudul “Seorang Pemuda Tewas dengan Jarum Suntik”. Dalam berita tersebut dijelaskan tentang banyaknya tindikan dan gaya berpakaian pemuda tersebut yang dijelaskan sebagai bergaya punk. Kasus-kasus pemberitaan tersebut dapat menimbulkan reaksi dalam masyarakat yang semakin menganggap punk sebagai sebuah penyimpangan. Reaksi yang dijelaskan oleh Cohen dan Young muncul dalam bentuk munculnya anggapan menyimpang dari masyarakat yang semakin besar. Media massa dengan kemampuannya menjangkau banyak orang memiliki dampak yang besar dalam pembentukan opini. Pembentukan opini akan mendorong terbangunnya citra punk sebagai penyimpangan. Dampak lebih lanjutnya adalah prasangka atau stereotip terhadap mereka yang memiliki identitas punk. Sementara itu prasangka sudah terjadi dalam masyarakat seperti diberitakan dalam kasus yang dimuat Tempo Interaktif, bahwa beberapa punk ditangkap tanpa tuduhan pelanggaran pidana apapun. Penangkapan dilakukan hanya berdasar laporan warga yang menganggap perilaku mereka sudah meresahkan. Hal ini tentu sangat disayangkan karena banyak dari mereka yang masih tergolong anak.
Media massa memerlukan upaya untuk membuat beritanya semakin menarik. Dengan pencantuman identitas anak sebagai punk maka berita tersebut mempunyai nilai jual yang lebih karena memiliki nilai sosial yang lebih besar dimana muncul penampakan perbedaan nilai kultural yang terjadi dalam bentuk subkultur punk. Keunikan punk juga menjadi nilai tambah bagi nilai jual berita tersebut.
Sumber:
Tulisan ini dikutip dari makalah ujian akhir semester mata kuliah Kenakalan Anak di Indonesia yang ditulis oleh Pondra Novara Priyono, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia (2005).

Labeling terhadap anak

Labeling

Beberapa orangtua pasti tidak asing dengan kalimat-kalimat di atas, beberapa orangtua yang lain mungkin pernah mendengar (dan mengucapkan) versi-versi lain dari kalimat sejenis. Versi-versi lain itu bisa kalimat negatif seperti contoh-contoh di atas dan bisa juga kalimat-kalimat positif yang berisi pujian tentang kehebatan-kehebatan anaknya. Orangtua yang “sempurna” dan sulit menerima kesalahan dan kekurangan, mungkin akan lebih banyak mengatakan kalimat-kalimat negatif, orangtua yang “adil” mungkin pernah mengatakan kedua jenis kalimat tersebut tergantung keadaan anak, sementara orangtua lain yang selalu berpikir positif dan hanya mau melihat hal-hal positif pada anaknya mungkin hanya mengatakan kalimat-kalimat positif. Semua itu disebut sebagai labeling.

Labeling
Labeling adalah proses melabel seseorang. Label, menurut yang tercantum dalam A Handbook for The Study of Mental Health, adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia.Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu persatu.

Dampak Terhadap Anak
Dalam teori labeling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”.Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Kalau begitu mungkin bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”.
Pemikiran dasar teori labeling ini memang yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan. Misalnya, seorang anak yang diberi label bodoh cenderung tidak diberikan tugas-tugas yang menantang dan punya tingkat kesulitan di atas kemampuannya karena kita berpikir “ah dia pasti tidak bisa kan dia bodoh, percuma saja menyuruh dia”. Karena anak tersebut tidak dipacu akhirnya kemampuannya tidak berkembang lebih baik. Kemampuannya yang tidak berkembang akan menguatkan pendapat/label orangtua bahwa si anak bodoh. Lalu orangtua semakin tidak memicu anak untuk berusaha yang terbaik, lalu anak akan semakin bodoh. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Dalam buku Raising A Happy Child, banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi.
Bagi banyak orang (termasuk anak-anak) pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.
Saran Bagi Orangtua
Adalah penting bagi anak untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini diketemukan olehnya lewat respon orang-orang sekitarnya, terutama orang terdekat yaitu orangtua. Kalau respon orangtua positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya sebagai orangtua, tidak dapat menahan diri sehingga memberikan respon-respon negatif seputar perilaku anak. Walaupun sesungguhnya orangtua tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan orangtua dan bagaimana orangtua bertindak, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya.
Beberapa saran bagi orangtua:
1. Berespon secara spesifik terhadap perilaku anak, dan bukan kepribadiannya. Kalau anak bertindak sesuatu yang tidak berkenan di hati, jangan berespon dengan memberikan label, karena melabel berarti menunjuk pada kepribadian anak, seperti sesuatu yang terberi dan tidak bisa lagi diperbaiki. Contoh: Kalau anak tidak berani menghadapi orang baru, jangan katakan “Aduh kamu pemalu sekali”, atau “Jangan penakut begitu dong Nak”, tetapi beresponlah “Tidak kenal ya dengan tante ini, jadi tidak mau menyapa. Kalau besok ketemu lagi, mau ya menyapa, kan sudah pernah kenalan”. Kalau anak nakal (naughty), jangan katakan bahwa dia nakal tapi katakan bahwa perilakunya salah (misbehave). Anak-anak sering berperilaku salah, selain karena mereka memang belum mengetahui semua hal yang baik-buruk; benar-salah; boleh-tidak boleh, mereka juga suka menguji batas-batas dari orangtuanya. Misalnya, kakak merebut mainan adik, katakan “Kakak, merebut mainan orang lain itu salah, tidak boleh begitu. Kalau main sama adik gantian ya” (dan bukan mengatakan “Kakaaaaak, nakal sekali sih merebut mainan adiknya”). Dengan demikian tidak ada pesan negatif yang masuk dalam pikiran anak, dan bahkan anak didorong untuk mau bertindak benar di waktu berikutnya.
2. Gunakan label untuk kepentingan pribadi orangtua. Sebenarnya melabel tidak selamanya buruk, asalkan label tersebut digunakan orangtua untuk dirinya sendiri, agar lebih memahami dinamika perilaku anak. Misalnya, “Anakku A lebih bodoh daripada anakku B”. Tapi label tersebut tidak dikatakan di depan anak, “A kamu itu kok lebih bodoh ya daripada adikmu si B”. Dengan mengetahui dinamika anak lewat label yang ada dalam pikiran orangtua sendiri, hendaknya orangtua menggunakan label tersebut untuk menyusun strategi selanjutnya, agar kekurangan anak diperbaiki. Misalnya, setelah mengetahui A lebih bodoh daripada B, maka orangtua memberikan lebih banyak waktu untuk mengajarkan sesuatu dan mempersiapkan diri untuk lebih sabar jika menghadapi A.
3. Menarik diri sementara jika sudah tidak sabar. Adakalanya orangtua sudah tidak sabar dan inginnya melabel anak, misalnya “Heeeeh kamu goblok banget sih, 1 + 1 saja tidak bisa-bisa”. Jika kesabaran sudah diambang batas, sebelum kata-kata negatif keluar, ada baiknya orangtua menarik diri sementara dari anak, time off. Katakan pada anak, “Papa sudah lelah, mungkin kamu juga sudah lelah. Kita istirahat dulu, nanti belajar lagi sama-sama. Siapa tahu setelah istirahat kita berdua lebih berkonsentrasi dan semangat belajar”.
Bagaimana cara orangtua berbicara dan menanggapi kekurangan-kekurangan anak akan sangat berpengaruh bagi anak sepanjang hidupnya. Oleh karena itu orangtua harus sangat berahti-hati dan mempertimbangkan secara matang apa yang akan diucapkan kepada anaknya. Mulutmu harimaumu, begitulah kata pepatah, yang dalam hal ini mulut orangtua bisa menjadi harimau bagi anak. Penting sekali orangtua selalu berkata-kata positif tentang anak, agar anak jadi berpikir positif tentang dirinya dan bertumbuh dengan harga diri yang tinggi dan perasaan dicintai dan diterima.
Oleh: Martina Rini S. Tasmin, SPsi.
Sumber: http://www.e-psikologi.com/anak/160502.htm